Mahakarya Baheula Leluhur Mamasa

Rabu, 09 Maret 2011 , Posted by TORAJA INDAH at 14.02

Mumi Asal Mamasa, Sulsel (GATRA/Anthony)Biar sudah keriput, tak bernyawa pula, sosok manusia yang dipamerkan ini seakan masih hendak meledek. Lihat saja, dalam posisi berbaring dengan kaki ditekuk, jempol tangannya diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah. Simbol jempol kejepit ini kadung identik dengan, maaf, sanggama.

Tak mengherankan, para pengunjung pameran, terutama kaum muda, mesam-mesem dibuatnya. "Porno, ih," ucap seorang cewek cekikikan. "Sudah tua masih juga mesum," rekannya menimpali. Tentu mereka berkelakar. Rombongan pengunjung lain ikut cengar-cengir.

Sosok tadi adalah mumi asal Mamasa, Sulawesi Barat. Selama empat hari sampai akhir bulan lalu, mayat yang diawetkan itu menjadi bintang dalam Gelar Budaya Sulawesi Selatan di Gedung Natiro Mata, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Perhelatan tahunan ini tak selalu menampilkan mumi. Maka, di antara benda-benda bersejarah yang dipamerkan, mumi tadi, bersama mumi dari Tanah Toraja, paling banyak menyedot perhatian. Kedua mumi itu dipajang dalam dua kotak kaca. Mumi dibiarkan telanjang sehingga pengunjung leluasa mengamati.

Mumi asal Mamasa kalau direntangkan panjangnya 155 cm. Posisinya berbaring dengan kepala mendongak ke kiri. Kaki terlipat, tangan sedekap. Tubuhnya kaku, tinggal tulang berselimut kulit tipis warna kuning kehitaman. Tulang-belulangnya masih tampak lengkap.

Batok kepala, hidung, dan kedua telinga masih kelihatan utuh. Rambutnya masih menempel meski sudah jarang. Mulut terbuka dan tampak gigi depan bagian atas masih putih. Kedua matanya tertutup rapat, lengkap pula dengan bulu matanya yang beradu.

Sepintas dicermati, gayanya seperti posisi janin dalam rahim ibunya. Makna simbolisnya, kembali suci seperti bayi. Bagi sebagian tetua adat, jenazah dengan posisi seperti itu pertanda kebahagiaan selalu menyertainya.

Identitas mumi laki-laki itu belum jelas. Ia disita dari orang yang hendak menawarkannya pada kolektor asing, tahun 1991. "Kami tahu adanya mumi itu setelah diserahkan ke kami," kata Muslimin A.R. Effendy, penanggung jawab publikasi pada Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala di Benteng, Makassar.

Mumi itu juga belum jelas kepastian meninggal serta siapa pemilik jasad dan keluarganya. Namun beberapa peneliti menilai, "mahakarya baheula" tersebut dibuat lebih dari 300 tahun lalu oleh leluhur masyarakat Mamasa. Ia diperkirakan meninggal ketika berusia 25 tahun.

Identitas mumi asal Toraja juga gelap. Mumi ini pun sitaan polisi tahun 1985. Panjangnya 60 cm, diperkirakan meninggal pada usia lima tahun. Mumi bocah perempuan yang sudah tumbuh giginya itu ditaksir berusia 200 tahun. Kondisinya sudah agak rusak.

Sejak disita, kedua mumi itu disimpan dengan baik di Benteng Ujungpandang. Diperkirakan benda itu bernilai jual ratusan juta rupiah. Malah, kabarnya, ada kolektor asing yang sanggup membayar milyaran rupiah. Pantaslah, ketika dipamerkan, dijaga ketat polisi pamong praja.

***

Kedua mumi tersebut merupakan peninggalan sejarah sekaligus aset budaya masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Tanah Toraja dan Kabupaten Mamasa. Mumi itu menunjukkan tradisi masyarakat dan leluhurnya yang menjunjung tinggi keberadaan tetua adat mereka dengan cara mengawetkan jenazahnya.

Namun tidak semua tetua adat jasadnya diawetkan jadi mumi. Hanya keluarga berpengaruh yang menjalani ritual pengawetan mumi. Sampai saat ini, tradisi itu dilakoni sebagian masyarakat Tanah Toraja atau Mamasa yang menganut kepercayaan Aluk Todolok, dengan agama disebut Alukta.

Penganut kepercayaan ini memuja arwah leluhurnya. Pemujaan itu dikenal dengan nama upacara Rambu Tukak dan Rambu Solok. Mereka mengabadikan jenazah sang leluhur dan menyimpannya dalam peti mati yang disebut erong.

Kemudian erong berisi jenazah tadi disimpan di lubang atau liang jenazah di tebing-tebing perbukitan. Agar terus di kenang, biasanya mereka menyertakan patung yang mirip jenazah yang tersimpan itu. Patung ini disebut tau-tau.

Tidak semua jenazah yang diawetkan berakhir dengan tampilan mumi. Selain butuh waktu lama, juga menghabiskan biaya besar. "Kalau dulu, hanya orang-orang setingkat raja atau keluarga kaya yang mengawetkan keluarga mereka hingga jadi mumi," kata Tinting Sarunggallo, warga Toraja yang banyak tahu soal mumi.

Tinting yang juga staf di Balai Purbakala Makassar itu menjelaskan, proses pengawetan jenazah hingga jadi mumi tidak lepas dari ramuan akar pohon dan dedaunan. Semua itu diiringi mantra-mantra oleh tetua adat. Ini berbeda dengan pembuatan mumi di Papua yang umumnya melalui proses pengasapan.

Ritual pengawetannya amat panjang. Dimulai dengan memandikan jasad utuh dengan air yang diniatkan sebagai "air suci" sampai bersih. Kemudian dikenakan pakaian kesukaannya semasa hidup melalui upacara rambu solok. Upacara ini sangat diagungkan, melebihi upacara adat lainnya.

"Anggapan mereka, manusia itu hanya sekali hidup. Beda kalau acara pesta-pesta lainnya yang bisa berlangsung lebih dari sekali," kata Muslimin, yang juga dosen sejarah di Universitas Negeri Makassar.

Tiga hari berselang, jasad dioles dengan ramuan dari dedaunan dan akar. Yakni daun sirih, daun pinang, daun bilante --sebutan masyarakat Toraja untuk dedaunan yang didapat dari hutan-- serta beberapa akar pohon lainnya. Dedaunan tadi diramu dengan abu siput dan diaduk dengan air perasan batang pisang.

Jasad dibiarkan lagi tiga malam. Ramuan itu biasanya meninggalkan noda cairan. Nah, cairan ini disuling dan disimpan dalam bambu, hingga jenazah kering selama tiga bulan. Supaya pengawetan sempurna, jenazah disimpan di kotak yang disebut duni. Kotak ini harus kering dan bebas organisme.

Setelah mulai kering, jasad itu dibersihkan, kemudian dibalut dengan kain dari serat nanas. Setelah benar-benar tidak ada lagi penguapan dari dalam, jasad dibalut lagi dengan kain katun. Semua tahapan itu melalui ritual adat yang diikuti bacaan mantra.

Sampai di sini, keluarganya biasanya tinggal menunggu harap-harap cemas. Apakah jasad tadi --biasanya setelah 100 tahun-- menjadi mumi atau malah hancur membusuk? "Tidak ada yang berani menjamin mayat itu jadi mumi. Kegagalan biasanya terjadi di akhir proses pembalutan yang tidak sempurna," kata Tinting.

Bagi masyarakat, konon, hanya jenazah tertentu yang berhasil menjalani tahapan tadi sampai menjadi mumi sempurna. Siapa mereka? Masyarakat mempercayainya sebagai "manusia super" semasa hidupnya. Atau, paling tidak, memiliki garis keturunan dari orang yang berilmu kebatinan tinggi.

Nah, mereka ini dipercayai memiliki kekuatan hebat sehingga jasadnya tak lekang dimakan waktu. Itu pun, dalam ritualnya pemumiannya, tak lepas dari campur tangan manusia yang punya ilmu tinggi pula. Boleh percaya, boleh tidak.

Taufik Alwie, dan Anthony (Makassar)

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar

Latest News