Mahakarya Baheula Leluhur Mamasa

Posted by TORAJA INDAH on Rabu, 09 Maret 2011 , under | komentar (0)



Mumi Asal Mamasa, Sulsel (GATRA/Anthony)Biar sudah keriput, tak bernyawa pula, sosok manusia yang dipamerkan ini seakan masih hendak meledek. Lihat saja, dalam posisi berbaring dengan kaki ditekuk, jempol tangannya diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah. Simbol jempol kejepit ini kadung identik dengan, maaf, sanggama.

Tak mengherankan, para pengunjung pameran, terutama kaum muda, mesam-mesem dibuatnya. "Porno, ih," ucap seorang cewek cekikikan. "Sudah tua masih juga mesum," rekannya menimpali. Tentu mereka berkelakar. Rombongan pengunjung lain ikut cengar-cengir.

Sosok tadi adalah mumi asal Mamasa, Sulawesi Barat. Selama empat hari sampai akhir bulan lalu, mayat yang diawetkan itu menjadi bintang dalam Gelar Budaya Sulawesi Selatan di Gedung Natiro Mata, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Perhelatan tahunan ini tak selalu menampilkan mumi. Maka, di antara benda-benda bersejarah yang dipamerkan, mumi tadi, bersama mumi dari Tanah Toraja, paling banyak menyedot perhatian. Kedua mumi itu dipajang dalam dua kotak kaca. Mumi dibiarkan telanjang sehingga pengunjung leluasa mengamati.

Mumi asal Mamasa kalau direntangkan panjangnya 155 cm. Posisinya berbaring dengan kepala mendongak ke kiri. Kaki terlipat, tangan sedekap. Tubuhnya kaku, tinggal tulang berselimut kulit tipis warna kuning kehitaman. Tulang-belulangnya masih tampak lengkap.

Batok kepala, hidung, dan kedua telinga masih kelihatan utuh. Rambutnya masih menempel meski sudah jarang. Mulut terbuka dan tampak gigi depan bagian atas masih putih. Kedua matanya tertutup rapat, lengkap pula dengan bulu matanya yang beradu.

Sepintas dicermati, gayanya seperti posisi janin dalam rahim ibunya. Makna simbolisnya, kembali suci seperti bayi. Bagi sebagian tetua adat, jenazah dengan posisi seperti itu pertanda kebahagiaan selalu menyertainya.

Identitas mumi laki-laki itu belum jelas. Ia disita dari orang yang hendak menawarkannya pada kolektor asing, tahun 1991. "Kami tahu adanya mumi itu setelah diserahkan ke kami," kata Muslimin A.R. Effendy, penanggung jawab publikasi pada Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala di Benteng, Makassar.

Mumi itu juga belum jelas kepastian meninggal serta siapa pemilik jasad dan keluarganya. Namun beberapa peneliti menilai, "mahakarya baheula" tersebut dibuat lebih dari 300 tahun lalu oleh leluhur masyarakat Mamasa. Ia diperkirakan meninggal ketika berusia 25 tahun.

Identitas mumi asal Toraja juga gelap. Mumi ini pun sitaan polisi tahun 1985. Panjangnya 60 cm, diperkirakan meninggal pada usia lima tahun. Mumi bocah perempuan yang sudah tumbuh giginya itu ditaksir berusia 200 tahun. Kondisinya sudah agak rusak.

Sejak disita, kedua mumi itu disimpan dengan baik di Benteng Ujungpandang. Diperkirakan benda itu bernilai jual ratusan juta rupiah. Malah, kabarnya, ada kolektor asing yang sanggup membayar milyaran rupiah. Pantaslah, ketika dipamerkan, dijaga ketat polisi pamong praja.

***

Kedua mumi tersebut merupakan peninggalan sejarah sekaligus aset budaya masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Tanah Toraja dan Kabupaten Mamasa. Mumi itu menunjukkan tradisi masyarakat dan leluhurnya yang menjunjung tinggi keberadaan tetua adat mereka dengan cara mengawetkan jenazahnya.

Namun tidak semua tetua adat jasadnya diawetkan jadi mumi. Hanya keluarga berpengaruh yang menjalani ritual pengawetan mumi. Sampai saat ini, tradisi itu dilakoni sebagian masyarakat Tanah Toraja atau Mamasa yang menganut kepercayaan Aluk Todolok, dengan agama disebut Alukta.

Penganut kepercayaan ini memuja arwah leluhurnya. Pemujaan itu dikenal dengan nama upacara Rambu Tukak dan Rambu Solok. Mereka mengabadikan jenazah sang leluhur dan menyimpannya dalam peti mati yang disebut erong.

Kemudian erong berisi jenazah tadi disimpan di lubang atau liang jenazah di tebing-tebing perbukitan. Agar terus di kenang, biasanya mereka menyertakan patung yang mirip jenazah yang tersimpan itu. Patung ini disebut tau-tau.

Tidak semua jenazah yang diawetkan berakhir dengan tampilan mumi. Selain butuh waktu lama, juga menghabiskan biaya besar. "Kalau dulu, hanya orang-orang setingkat raja atau keluarga kaya yang mengawetkan keluarga mereka hingga jadi mumi," kata Tinting Sarunggallo, warga Toraja yang banyak tahu soal mumi.

Tinting yang juga staf di Balai Purbakala Makassar itu menjelaskan, proses pengawetan jenazah hingga jadi mumi tidak lepas dari ramuan akar pohon dan dedaunan. Semua itu diiringi mantra-mantra oleh tetua adat. Ini berbeda dengan pembuatan mumi di Papua yang umumnya melalui proses pengasapan.

Ritual pengawetannya amat panjang. Dimulai dengan memandikan jasad utuh dengan air yang diniatkan sebagai "air suci" sampai bersih. Kemudian dikenakan pakaian kesukaannya semasa hidup melalui upacara rambu solok. Upacara ini sangat diagungkan, melebihi upacara adat lainnya.

"Anggapan mereka, manusia itu hanya sekali hidup. Beda kalau acara pesta-pesta lainnya yang bisa berlangsung lebih dari sekali," kata Muslimin, yang juga dosen sejarah di Universitas Negeri Makassar.

Tiga hari berselang, jasad dioles dengan ramuan dari dedaunan dan akar. Yakni daun sirih, daun pinang, daun bilante --sebutan masyarakat Toraja untuk dedaunan yang didapat dari hutan-- serta beberapa akar pohon lainnya. Dedaunan tadi diramu dengan abu siput dan diaduk dengan air perasan batang pisang.

Jasad dibiarkan lagi tiga malam. Ramuan itu biasanya meninggalkan noda cairan. Nah, cairan ini disuling dan disimpan dalam bambu, hingga jenazah kering selama tiga bulan. Supaya pengawetan sempurna, jenazah disimpan di kotak yang disebut duni. Kotak ini harus kering dan bebas organisme.

Setelah mulai kering, jasad itu dibersihkan, kemudian dibalut dengan kain dari serat nanas. Setelah benar-benar tidak ada lagi penguapan dari dalam, jasad dibalut lagi dengan kain katun. Semua tahapan itu melalui ritual adat yang diikuti bacaan mantra.

Sampai di sini, keluarganya biasanya tinggal menunggu harap-harap cemas. Apakah jasad tadi --biasanya setelah 100 tahun-- menjadi mumi atau malah hancur membusuk? "Tidak ada yang berani menjamin mayat itu jadi mumi. Kegagalan biasanya terjadi di akhir proses pembalutan yang tidak sempurna," kata Tinting.

Bagi masyarakat, konon, hanya jenazah tertentu yang berhasil menjalani tahapan tadi sampai menjadi mumi sempurna. Siapa mereka? Masyarakat mempercayainya sebagai "manusia super" semasa hidupnya. Atau, paling tidak, memiliki garis keturunan dari orang yang berilmu kebatinan tinggi.

Nah, mereka ini dipercayai memiliki kekuatan hebat sehingga jasadnya tak lekang dimakan waktu. Itu pun, dalam ritualnya pemumiannya, tak lepas dari campur tangan manusia yang punya ilmu tinggi pula. Boleh percaya, boleh tidak.

Taufik Alwie, dan Anthony (Makassar)

Ayam dalam Sejarah dan Budaya Sulsel

Posted by TORAJA INDAH on , under | komentar (2)



12970431392130522050
129704279732857975
KATA ini, Manu’ (Bugis) atau Jangang (Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Gilbert Hamonic menyebutkan bahwa kultur bugis kental dengan mitologi ayam. Jika mendapatkan pembahasan yang berimbang maka kata ini bisa jadi sangat mewarnai perjalanan sejarah dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Ketika hal ini saya sampaikan kepada lima mahasiswa sejarah UNHAS yang datang bertamu ke rumah, mereka malahan tertawa seakan tidak percaya terhadap apa yang baru saja didengarnya. Mereka seakan lupa bahwa Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, digelari “Haaantjes van het Oosten” yang berarti “Ayam Jantan dari Timur” dan lambang universitas tempat mereka kuliah adalah gambar ayam.
Masyarakat Bugis Makassar selain menjadikan ayam sebagai ternak peliharaan juga menjadikannya sebagai hewan aduan. Karena keakraban dengan ayam ini dengan senantiasa memperhatikan tanda – tanda fisik, bulu dan bunyi kokoknya, orang Bugis Makassar memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini :
1) Bila ayam betina beradu dibawah kolong rumah, maka itu pertanda bahwa yang empunya rumah akan kedatangan tamu ;
2) Bila ayam betina berkotek di waktu malam, maka itu pertanda akan ada kerabat yang akan meninggal. Ayam ini disebut “Manu’ patula-tula” dan karenanya harus disembelih, tidak boleh dibiarkan bertelur karena dapat membawa sial atau celaka ;
3) Bila ayam memakai jambul (simpolong), maka itu pertanda ayam tersebut tidak baik dipelihara karena bisa membawa sial ;
4) Bila ayam berbulu kelabu (kawu) maka ayam tersebut juga tidak baik untuk dipelihara karena dianggap sorokau (ayam pembawa sial), dan 5) Bila ayam jantan berkokok seperti menyuarakan ‘pelihara aku’ (makkau) maka ayam tersebut baik untuk dipelihara karena dianggap pembawa rezeki.
Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut pemberani (to-barani) jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung ballo), judi (abbotoro’), dan massaung manu’ (adu ayam), dan untuk menyatakan keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam jantan paling berani di kampungnya (di negerinya), seperti “Buleng – bulengna Mangasa, Korona Mannongkoki, Barumbunna Pa’la’lakkang, Buluarana Teko, Campagana Ilagaruda (Galesong), Bakka Lolona Sawitto, dan lain sebagainya. Dan hal sangat penting yang belum banyak diungkap dalam buku sejarah adalah fakta bahwa awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana Gowa).
***
Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’. Oleh Raja Gowa, Daeng Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung ayam tersebut. Taruhan Raja Gowa 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Sabung ayam antara dua raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana Bone).
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa. Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.
Peristiwa itu menunjukkan betapa besar pengaruh psikologis ’Massaung Manu’ tersebut sehingga menjadi pangkal konflik dan perang Bone Vs Gowa. Bergabungnya Tellu Limpoe menjadi wanua palili Bone yang sebelumnya berstatus wanua palili Kerajaan Gowa dijadikan dalih oleh Gowa melancarkan serangan militer pertama ke Bone dalam tahun 1562. Tahun berikutnya, serangan militer kedua menyusul dengan jumlah pasukan yang lebih besar, Serangan militer ketiga dan keempat dilancarkan lagi dalam tahun 1565. Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Marumpa Karaeng Data Tunibata yang hanya naik takhta selama 20 hari ini tewas dalam peperangan ini. Dalam setiap serangan militer Gowa ke Bone, Gowa tidak pernah menaklukkan betul Bone sehingga selalu diakhiri dengan perjanjian Perdamaian, namun Gowa selalu mengingkari perjanjian itu dan tetap menunggu kesempatan yang baik untuk menaklukkan Bone. Dalam tahun 1575, dilancarkanlah serangan militer kelima sampai akhirnya Bone benar – benar dikalahkan dan ditaklukkan dimasa pemerintahan Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna dalam tahun 1611.
Sejarah konflik dan Perang Gowa Vs Bone ini menarik dicermati karena diakhir penaklukan Bone oleh Gowa, alasan perang yang dipakai Sultan Alauddin adalah alasan ”Bundu Kasallangan” atau ”Musu Sellenge”, yaitu memerangi suatu kerajaan supaya masuk Islam. Sementara dalam istana Bone, beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Gowa merupakan satu pelanggaran kedaulatan negara atas negara lain sehingga setiap peperangan harus dibalas dengan peperangan. Di belakang hari, sebab inilah yang memicu kebangkitan semangat Arung Palakka untuk memerdekan Bone (Negeri Bugis) atas penjajahan Gowa, terlebih lagi setelah pengerahan sekitar 40.000 tenaga kerja paksa orang Bone – Soppeng membangun Benteng – benteng Makassar. (Makkulau, 2008).
***
Ayam adalah simbol kejantanan. Ayam merupakan hewan simbolis sekaligus pertaruhan gengsi laki – laki. Mungkin jika diambilkan perumpamaan, sekarang ini tidak disebut seseorang itu laki – laki jika tidak menggemari bola dan kalau dahulu, tidak disebut seseorang itu laki – laki jika tidak menggemari sabung ayam. Hanya saja, kini terjadi pergeseran cara pandang, apa – apa dijudikan. Sabung ayam dijudikan, Sepak bola dijudikan. Maka wajar saja jika sabung ayam dan sepakbola kini menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Padahal dulunya, sabung ayam malah menjadi tontonan yang sangat menarik, termasuk para bangsawan dan raja.
Adalah Ustadz Hattab, mantan pegawai Departemen Agama Pangkep yang setiap saat menyempatkan singgah di rumah usai mengantar isterinya mengajar di suatu sekolah yang juga tak jauh dari rumah, mengungkapkan bahwa sabung ayam sebenarnya—sebagaimana juga ma’barazanji—merupakan sarana bersosialisasi untuk mengenal banyak orang dan banyak kampung. Mantan penyabung ayam ini mengakui bahwa dirinya mengenal banyak orang dan sering diundang keluar masuk kampong karena ayam sabungannya yang terkenal sanggup mematikan ayam sabungan lainnya hanya dengan satu kali lompatan.
Tradisi sabung ayam ternyata bukan hanya milik kebudayaan Bugis Makassar. Di Toraja Sa’dang, tradisi sabung ayam dikenal dengan nama paramisi, biasanya digelar sebagai rangkaian masa duka dalam sebuah keluarga. Bagi orang Toraja, ayam adalah simbol langit. Di Kajang, ada tradisi yang disebut pabitte passapu’, yaitu mengadu ikat kepala yang telah disimpul seperti ayam. Ikat kepala itu akan berkelahi layaknya ayam. Hal ini tentu saja terjadi karena adanya kekuatan mistis dan supranatural untuk menggerakkan ikat kepala itu menjadi ’hidup’. (***)

Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama dalam Masyarakat Toraja

Posted by TORAJA INDAH on , under | komentar (1)



Tulisan ini merupakan suatu analisis sosial masyarakat Toraja yang telah mengalami perubahan dalam bingkai budaya nenek moyang, agama dan modenitas. Penulis menyadari bahwa untuk membahas hal ini secara komprehensif, dibutuhkan penelitian yang komprehensif pula. Sementara itu, analisis yang penulis coba paparkan di sini didasarkan pada pengalaman empiris penulis – yang dibesarkan, belajar, dan melayani (sebagai Pendeta) dalam komunitas etnis Toraja – yang kemudian dirangsang oleh diskusi dalam kuliah “Agama dan Masyarakat”. Jadi selayaknya tulisan ini diberi label: “sebuah catatan awal”.
Dalam upaya memahami masyarakat Toraja ini, penulis mengelaborasi metode Bernard Adeney-Risakotta dalam kajian tentang model masyarakat Indonesia yang melihat modernitas, agama dan budaya nenek moyang sebagai tiga jaringan makna . Namun mengingat implikasi model ini sangat luas, maka penulis mempersempitnya dengan persoalan pokok: bagaimana ketiga jaringan makna ini membentuk etos dan world view masyarakat Toraja. Namun dalam pembahasannya penulis menukarkan posisi jaringan itu menjadi budaya nenek moyang, agama dan modernitas. Pembahasan seperti ini mengandaikan kronologi perubahan sosial masyarakat Toraja. Pertama-tama, budaya nenek moyanglah yang mengakar dan membentuk masyarakat Toraja. Setelah itu menyusul kehadiran agama dan merebaknya pengaruh modernitas. Penulis berusaha menghindarkan pembahasan ini dari unsur historis. Namun dalam tulisan ini hal tersebut bisa saja muncul di sana sini. Sebab menurut penulis, untuk menganalisis kondisi masyarakat saat ini dalam ketiga jaringan makna di atas, mau tidak mau kita harus sejenak menoleh ke belakang.

Masyarakat Toraja
Sebelum lebih jauh dalam pembahasan ini, penulis merasa perlu untuk sedikit menjelaskan apa yang penulis maksudkan dengan masyarakat Toraja. Istilah ini penulis pakai untuk membedakan kelompok masyarakat etnis Toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dengan yang hidup sebagai perantauan di luar Tana Toraja. Pembedaan ini dilakukan mengingat adanya perbedaan pola pikir yang cukup mendasar antara orang Toraja yang tinggal di Toraja dan yang tinggal diluar Toraja dalam menanggapi masalah budaya nenek moyang, agama dan modernitas, serta pengaruhnya terhadap perilaku sosial mereka. Bagi mereka yang tinggal diluar Tana Toraja, perilaku sosial mereka cukup dipengaruhi oleh motifasi mereka meninggalkan Tana Toraja yaitu pekerjaan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar orang Toraja yang merantau, hidup di daerah dalam konteks masyarakat yang majemuk, baik secara etnis maupun agama. Berbeda dengan komunitas yang tinggal di daerah Tana Toraja yang cenderung homogen.

Makna Budaya Nenek Moyang Bagi Masyarakat Toraja
Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah : Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya.
Jika Durkheim membedakan antara yang sakral dan profan, maka hal itu tidak berlaku bagi Aluk to Dolo. Tidak ada yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah. Demikian halnya keberadaan manusia dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia Toraja. Aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol itu menghubungkan manusia secara khas dengan dengan tatanan faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan inilah yang membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya.
Paradigma yang dipakai Geertz mengenai sintesa etos dan pandangan dunia daalam sebuah kebudayaan sangat membantu kita untuk memahami makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja . Simbol-simbol dan motifasi apapun yang dicerminkan pola budaya ini sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang tatanan faktual, dimana manusia, alam dan yang ilahi terikat dalam sesuatu yang serba sakral. Jika kemudian Geertz mendefinisikan agama dari paradigma ini, rasanya definisi yang dihasilkan Geertz tidak berbeda dengan makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja.

Budaya Nenek Moyang Dalam Perjumpaannya Dengan Agama Kristen
Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan Kebudayaan”.
Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.
Dalam hal ini penulis melihat bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis. Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:
a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: “Itu tidak sesuai dengan firman Tuhan”; “Inilah kehendak Yesus”. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ”Menurut orang tua….”. (Maksudnya nenek moyang), “Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.. Dengan ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : “Ah, kita kan sudah Kristen”.
Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk. Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.
b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang awam (to buda).
Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.
Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down. Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian, masyarakat – entah sadar atau tidak – sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas budaya, dan asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan “pakaian” Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka “pakaian” Kristennya di pakai.

Masyarakat Toraja dan Pola Pikir Modernitas: Implikasi ketegangan antara budaya dan agama
Jika kembali kepada paradigma budaya Geertz, masyarakat Toraja sekarang ini – entah sadar atau tidak, tetapi kemungkinan besar tidak disadari – sedang mengalami kebingungan pembentukan etos dan worl view. Antara dogma agama dan budaya nenek moyang. Antara keduanya ada tarik menarik, bahkan pertentangan. Gejala sosial yang dilematis ini menjadikan situasi masyarakat Toraja saat ini cukup rawan ketika diperhadapkan dengan modernitas dengan berbagai karakteristiknya.
Sejauh kita memahami modernitas sebagai sebagai keterikatan kepada rasionalitas dalam semua sisi kehidupan, kita tidak dapat sepenuhnya mengklaim bahwa modernitas sama sekali belum menyentuh masyarakat Toraja pada saat agama Kristen mulai berkembang. Bagaimanapun juga, doktrin yang dibawa para zending ke Toraja tidak lepas dari pergulatan modernitas di Barat (Belanda). Bahkan adanya tarik menarik antara pandangan dunia budaya dan pandangan dunia agama bisa jadi disebabkan pengaruh pola pikir modern.
Tetapi jika kita mencoba memfokuskannya pada etos dan pandangan dunia yang ditawarkan laju modernitas, maka akan segera terlihat ketidaksiapan mental masyarakat Toraja menghadapi fenomena sosial yang ditimbulkan pola pikir atau kita sebut saja kebudayaan modern. Ketidaksiapan itu bukan berarti penolakan, tetapi penerimaan tanpa kritik. Gejala ini sudah menjadi fenomena yang cukup umum dalam masyarakat Toraja sekarang ini. Tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama menyebabkan etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja terjebak dalam dualisme dan dikotomi. Keadaan ini menjadi cela yang cukup besar, yang memungkinkan kebudayaan modern mulai membentuk masyarakat tanpa ada perlawanan atau kritik yang berarti dari masyarakat, baik dengan dasar budaya maupun agama. Para pemerhati kebudayaan daerah maupun gairah pelayanan gereja sebenarnya cukup menyadari bahaya ini dan melakukan berbagai upaya pembinaan. Tetapi etos dan world view yang terlanjur tidak konsisten menyebabkan masyarakat tidak cukup kuat untuk mengajukan kritik terhadap kebudayaan modern serta melakukan kontrol terhadap infiltrasi kebudayaan modern. Akibatnya budaya modern mulai membentuk etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja.
Salah satu contoh adalah individualisme. Karakter ini mulai menjadi warna masyarakat Toraja. Padahal karakter demikian sangat bertolak belakang dengan semangat kebersamaan orang Toraja yang terkenal dengan semboyan misa’ kada di potuo pantan kada di po mate (artinya kurang lebih sama dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Ironisnya, individualisme itu bisa tercermin dalam sebuah aktifitas yang berlatar belakang budaya.
Penulis mencontohkan fenomena ini dengan menyorot salah satu upacara adat Toraja yaitu upacara pemakaman (rambu solo). Dari luar kita bisa melihat adanya nilai budaya yang besar dalam upacara ini. Ada pondok-pondok yang dirikan secara gotong royong. Hewan korban (kerbau dan babi) disiapkan untuk menjamu tetamu yang datang sekaligus simbol penghargaan kepada si mati . Setelah itu sanak famili dan kenalan mengungkapkan tanda dukacita melalui kehadiran dalam upacara itu sekaligus membawa babi atau kerbau sebagai tanda simpati. Pada akhir pesta (yang biasanya 3 sampai 4 hari), ada juga hewan korban yang disisihkan untuk disumbangkan kepada gereja.
Tetapi jika kita mencermati motifasi dibalik persiapan dan pengorbanan itu, kita akan menemukan bahwa unsur gengsi atau prestise sangat mengemuka. Demi martabat di mata masyarakat, keluarga si mati akan mempersiapkan pesta dengan hewan korban sebanyak mungkin. Walaupun merupakan sebuah pemborosan yang penting harga diri akan terjaga. Sementara itu, sumbangan dukacita (dalam bentuk hewan korban) yang dibawa famili yang lain atau kenalan, tidak lagi dianggap sebagai tanda simpati, tetapi hutang. Jika sekali waktu kenalan tersebut menggelar upacara yang sama, maka mau tidak mau hutang itu harus dibayar. Jika tidak, harga diri menjadi taruhan. Sumbangan ke Gereja pun tidak lepas dari masalah harga diri. Menyumbang banyak artinya terhormat, prestise terjaga. Tidak menyumbang, memalukan. Dalam hal ini individualistis berjalan bersama dengan materialisme. Sekiranya Ferdinand Toennies menganalisis kedaan ini maka pembedaan Gemeinshaft dan Gesselschaft dalam teorinya akan mengalami kerancuan. Masalahnya karakteristik Gesselschaft yang diidentifikasi Toennies justru sering tercermin dalam sebuah konteks Gemeinshaft di Toraja. Kita bisa sederhanakan fenomena ini dengan ungkapan “modenitas yang berpakaian tradisional”.
Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya, atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di Toraja.

Kesimpulan dan Penutup
Sebagai kesimpulan, penulis menyimpulkan pembahasan ini dengan mencoba menggambarkan kondisi sosial masyarakat Toraja saat ini dengan dua illustrasi berikut:
Pranata sosial dan struktur sosial masyarakat Toraja sedang (bahkan sudah lama) berada dalam tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama. Akibatnya Etos dan world view masyarakat berada dalam dualisme dan dikotomi. Disadari atau tidak, masyarakat sedang berada dalam kebingungan merumuskan jati dirinya.
Keadaan itu menyebabkan infiltrasi kebudayaan modern berlangsung tanpa kritik dan koreksi dan budaya atau agama. Akibatnya, etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja mulai dibentuk oleh karakteristik budaya modern, tetapi ironisnya sering ditampilkan dalam kemasan budaya atau agama.
Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pemerhati budaya dan pemuka agama, khususnya agama Kristen, termasuk penulis.[]
Source: http://forumteologi.com/

Latest News