Mahakarya Baheula Leluhur Mamasa
Biar sudah keriput, tak bernyawa pula, sosok manusia yang dipamerkan ini seakan masih hendak meledek. Lihat saja, dalam posisi berbaring dengan kaki ditekuk, jempol tangannya diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah. Simbol jempol kejepit ini kadung identik dengan, maaf, sanggama.
Tak mengherankan, para pengunjung pameran, terutama kaum muda, mesam-mesem dibuatnya. "Porno, ih," ucap seorang cewek cekikikan. "Sudah tua masih juga mesum," rekannya menimpali. Tentu mereka berkelakar. Rombongan pengunjung lain ikut cengar-cengir.
Sosok tadi adalah mumi asal Mamasa, Sulawesi Barat. Selama empat hari sampai akhir bulan lalu, mayat yang diawetkan itu menjadi bintang dalam Gelar Budaya Sulawesi Selatan di Gedung Natiro Mata, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
Perhelatan tahunan ini tak selalu menampilkan mumi. Maka, di antara benda-benda bersejarah yang dipamerkan, mumi tadi, bersama mumi dari Tanah Toraja, paling banyak menyedot perhatian. Kedua mumi itu dipajang dalam dua kotak kaca. Mumi dibiarkan telanjang sehingga pengunjung leluasa mengamati.
Mumi asal Mamasa kalau direntangkan panjangnya 155 cm. Posisinya berbaring dengan kepala mendongak ke kiri. Kaki terlipat, tangan sedekap. Tubuhnya kaku, tinggal tulang berselimut kulit tipis warna kuning kehitaman. Tulang-belulangnya masih tampak lengkap.
Batok kepala, hidung, dan kedua telinga masih kelihatan utuh. Rambutnya masih menempel meski sudah jarang. Mulut terbuka dan tampak gigi depan bagian atas masih putih. Kedua matanya tertutup rapat, lengkap pula dengan bulu matanya yang beradu.
Sepintas dicermati, gayanya seperti posisi janin dalam rahim ibunya. Makna simbolisnya, kembali suci seperti bayi. Bagi sebagian tetua adat, jenazah dengan posisi seperti itu pertanda kebahagiaan selalu menyertainya.
Identitas mumi laki-laki itu belum jelas. Ia disita dari orang yang hendak menawarkannya pada kolektor asing, tahun 1991. "Kami tahu adanya mumi itu setelah diserahkan ke kami," kata Muslimin A.R. Effendy, penanggung jawab publikasi pada Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala di Benteng, Makassar.
Mumi itu juga belum jelas kepastian meninggal serta siapa pemilik jasad dan keluarganya. Namun beberapa peneliti menilai, "mahakarya baheula" tersebut dibuat lebih dari 300 tahun lalu oleh leluhur masyarakat Mamasa. Ia diperkirakan meninggal ketika berusia 25 tahun.
Identitas mumi asal Toraja juga gelap. Mumi ini pun sitaan polisi tahun 1985. Panjangnya 60 cm, diperkirakan meninggal pada usia lima tahun. Mumi bocah perempuan yang sudah tumbuh giginya itu ditaksir berusia 200 tahun. Kondisinya sudah agak rusak.
Sejak disita, kedua mumi itu disimpan dengan baik di Benteng Ujungpandang. Diperkirakan benda itu bernilai jual ratusan juta rupiah. Malah, kabarnya, ada kolektor asing yang sanggup membayar milyaran rupiah. Pantaslah, ketika dipamerkan, dijaga ketat polisi pamong praja.
***
Kedua mumi tersebut merupakan peninggalan sejarah sekaligus aset budaya masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Tanah Toraja dan Kabupaten Mamasa. Mumi itu menunjukkan tradisi masyarakat dan leluhurnya yang menjunjung tinggi keberadaan tetua adat mereka dengan cara mengawetkan jenazahnya.
Namun tidak semua tetua adat jasadnya diawetkan jadi mumi. Hanya keluarga berpengaruh yang menjalani ritual pengawetan mumi. Sampai saat ini, tradisi itu dilakoni sebagian masyarakat Tanah Toraja atau Mamasa yang menganut kepercayaan Aluk Todolok, dengan agama disebut Alukta.
Penganut kepercayaan ini memuja arwah leluhurnya. Pemujaan itu dikenal dengan nama upacara Rambu Tukak dan Rambu Solok. Mereka mengabadikan jenazah sang leluhur dan menyimpannya dalam peti mati yang disebut erong.
Kemudian erong berisi jenazah tadi disimpan di lubang atau liang jenazah di tebing-tebing perbukitan. Agar terus di kenang, biasanya mereka menyertakan patung yang mirip jenazah yang tersimpan itu. Patung ini disebut tau-tau.
Tidak semua jenazah yang diawetkan berakhir dengan tampilan mumi. Selain butuh waktu lama, juga menghabiskan biaya besar. "Kalau dulu, hanya orang-orang setingkat raja atau keluarga kaya yang mengawetkan keluarga mereka hingga jadi mumi," kata Tinting Sarunggallo, warga Toraja yang banyak tahu soal mumi.
Tinting yang juga staf di Balai Purbakala Makassar itu menjelaskan, proses pengawetan jenazah hingga jadi mumi tidak lepas dari ramuan akar pohon dan dedaunan. Semua itu diiringi mantra-mantra oleh tetua adat. Ini berbeda dengan pembuatan mumi di Papua yang umumnya melalui proses pengasapan.
Ritual pengawetannya amat panjang. Dimulai dengan memandikan jasad utuh dengan air yang diniatkan sebagai "air suci" sampai bersih. Kemudian dikenakan pakaian kesukaannya semasa hidup melalui upacara rambu solok. Upacara ini sangat diagungkan, melebihi upacara adat lainnya.
"Anggapan mereka, manusia itu hanya sekali hidup. Beda kalau acara pesta-pesta lainnya yang bisa berlangsung lebih dari sekali," kata Muslimin, yang juga dosen sejarah di Universitas Negeri Makassar.
Tiga hari berselang, jasad dioles dengan ramuan dari dedaunan dan akar. Yakni daun sirih, daun pinang, daun bilante --sebutan masyarakat Toraja untuk dedaunan yang didapat dari hutan-- serta beberapa akar pohon lainnya. Dedaunan tadi diramu dengan abu siput dan diaduk dengan air perasan batang pisang.
Jasad dibiarkan lagi tiga malam. Ramuan itu biasanya meninggalkan noda cairan. Nah, cairan ini disuling dan disimpan dalam bambu, hingga jenazah kering selama tiga bulan. Supaya pengawetan sempurna, jenazah disimpan di kotak yang disebut duni. Kotak ini harus kering dan bebas organisme.
Setelah mulai kering, jasad itu dibersihkan, kemudian dibalut dengan kain dari serat nanas. Setelah benar-benar tidak ada lagi penguapan dari dalam, jasad dibalut lagi dengan kain katun. Semua tahapan itu melalui ritual adat yang diikuti bacaan mantra.
Sampai di sini, keluarganya biasanya tinggal menunggu harap-harap cemas. Apakah jasad tadi --biasanya setelah 100 tahun-- menjadi mumi atau malah hancur membusuk? "Tidak ada yang berani menjamin mayat itu jadi mumi. Kegagalan biasanya terjadi di akhir proses pembalutan yang tidak sempurna," kata Tinting.
Bagi masyarakat, konon, hanya jenazah tertentu yang berhasil menjalani tahapan tadi sampai menjadi mumi sempurna. Siapa mereka? Masyarakat mempercayainya sebagai "manusia super" semasa hidupnya. Atau, paling tidak, memiliki garis keturunan dari orang yang berilmu kebatinan tinggi.
Nah, mereka ini dipercayai memiliki kekuatan hebat sehingga jasadnya tak lekang dimakan waktu. Itu pun, dalam ritualnya pemumiannya, tak lepas dari campur tangan manusia yang punya ilmu tinggi pula. Boleh percaya, boleh tidak.
Taufik Alwie, dan Anthony (Makassar)
Ayam dalam Sejarah dan Budaya Sulsel
Masyarakat Bugis Makassar selain menjadikan ayam sebagai ternak peliharaan juga menjadikannya sebagai hewan aduan. Karena keakraban dengan ayam ini dengan senantiasa memperhatikan tanda – tanda fisik, bulu dan bunyi kokoknya, orang Bugis Makassar memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini :
1) Bila ayam betina beradu dibawah kolong rumah, maka itu pertanda bahwa yang empunya rumah akan kedatangan tamu ;
2) Bila ayam betina berkotek di waktu malam, maka itu pertanda akan ada kerabat yang akan meninggal. Ayam ini disebut “Manu’ patula-tula” dan karenanya harus disembelih, tidak boleh dibiarkan bertelur karena dapat membawa sial atau celaka ;
3) Bila ayam memakai jambul (simpolong), maka itu pertanda ayam tersebut tidak baik dipelihara karena bisa membawa sial ;
4) Bila ayam berbulu kelabu (kawu) maka ayam tersebut juga tidak baik untuk dipelihara karena dianggap sorokau (ayam pembawa sial), dan 5) Bila ayam jantan berkokok seperti menyuarakan ‘pelihara aku’ (makkau) maka ayam tersebut baik untuk dipelihara karena dianggap pembawa rezeki.
Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut pemberani (to-barani) jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung ballo), judi (abbotoro’), dan massaung manu’ (adu ayam), dan untuk menyatakan keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam jantan paling berani di kampungnya (di negerinya), seperti “Buleng – bulengna Mangasa, Korona Mannongkoki, Barumbunna Pa’la’lakkang, Buluarana Teko, Campagana Ilagaruda (Galesong), Bakka Lolona Sawitto, dan lain sebagainya. Dan hal sangat penting yang belum banyak diungkap dalam buku sejarah adalah fakta bahwa awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana Gowa).
***
Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’. Oleh Raja Gowa, Daeng Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung ayam tersebut. Taruhan Raja Gowa 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Sabung ayam antara dua raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana Bone).
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa. Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.
Peristiwa itu menunjukkan betapa besar pengaruh psikologis ’Massaung Manu’ tersebut sehingga menjadi pangkal konflik dan perang Bone Vs Gowa. Bergabungnya Tellu Limpoe menjadi wanua palili Bone yang sebelumnya berstatus wanua palili Kerajaan Gowa dijadikan dalih oleh Gowa melancarkan serangan militer pertama ke Bone dalam tahun 1562. Tahun berikutnya, serangan militer kedua menyusul dengan jumlah pasukan yang lebih besar, Serangan militer ketiga dan keempat dilancarkan lagi dalam tahun 1565. Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Marumpa Karaeng Data Tunibata yang hanya naik takhta selama 20 hari ini tewas dalam peperangan ini. Dalam setiap serangan militer Gowa ke Bone, Gowa tidak pernah menaklukkan betul Bone sehingga selalu diakhiri dengan perjanjian Perdamaian, namun Gowa selalu mengingkari perjanjian itu dan tetap menunggu kesempatan yang baik untuk menaklukkan Bone. Dalam tahun 1575, dilancarkanlah serangan militer kelima sampai akhirnya Bone benar – benar dikalahkan dan ditaklukkan dimasa pemerintahan Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna dalam tahun 1611.
Sejarah konflik dan Perang Gowa Vs Bone ini menarik dicermati karena diakhir penaklukan Bone oleh Gowa, alasan perang yang dipakai Sultan Alauddin adalah alasan ”Bundu Kasallangan” atau ”Musu Sellenge”, yaitu memerangi suatu kerajaan supaya masuk Islam. Sementara dalam istana Bone, beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Gowa merupakan satu pelanggaran kedaulatan negara atas negara lain sehingga setiap peperangan harus dibalas dengan peperangan. Di belakang hari, sebab inilah yang memicu kebangkitan semangat Arung Palakka untuk memerdekan Bone (Negeri Bugis) atas penjajahan Gowa, terlebih lagi setelah pengerahan sekitar 40.000 tenaga kerja paksa orang Bone – Soppeng membangun Benteng – benteng Makassar. (Makkulau, 2008).
***
Ayam adalah simbol kejantanan. Ayam merupakan hewan simbolis sekaligus pertaruhan gengsi laki – laki. Mungkin jika diambilkan perumpamaan, sekarang ini tidak disebut seseorang itu laki – laki jika tidak menggemari bola dan kalau dahulu, tidak disebut seseorang itu laki – laki jika tidak menggemari sabung ayam. Hanya saja, kini terjadi pergeseran cara pandang, apa – apa dijudikan. Sabung ayam dijudikan, Sepak bola dijudikan. Maka wajar saja jika sabung ayam dan sepakbola kini menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Padahal dulunya, sabung ayam malah menjadi tontonan yang sangat menarik, termasuk para bangsawan dan raja.
Adalah Ustadz Hattab, mantan pegawai Departemen Agama Pangkep yang setiap saat menyempatkan singgah di rumah usai mengantar isterinya mengajar di suatu sekolah yang juga tak jauh dari rumah, mengungkapkan bahwa sabung ayam sebenarnya—sebagaimana juga ma’barazanji—merupakan sarana bersosialisasi untuk mengenal banyak orang dan banyak kampung. Mantan penyabung ayam ini mengakui bahwa dirinya mengenal banyak orang dan sering diundang keluar masuk kampong karena ayam sabungannya yang terkenal sanggup mematikan ayam sabungan lainnya hanya dengan satu kali lompatan.
Tradisi sabung ayam ternyata bukan hanya milik kebudayaan Bugis Makassar. Di Toraja Sa’dang, tradisi sabung ayam dikenal dengan nama paramisi, biasanya digelar sebagai rangkaian masa duka dalam sebuah keluarga. Bagi orang Toraja, ayam adalah simbol langit. Di Kajang, ada tradisi yang disebut pabitte passapu’, yaitu mengadu ikat kepala yang telah disimpul seperti ayam. Ikat kepala itu akan berkelahi layaknya ayam. Hal ini tentu saja terjadi karena adanya kekuatan mistis dan supranatural untuk menggerakkan ikat kepala itu menjadi ’hidup’. (***)
Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama dalam Masyarakat Toraja
Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya, atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di Toraja.
Pranata sosial dan struktur sosial masyarakat Toraja sedang (bahkan sudah lama) berada dalam tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama. Akibatnya Etos dan world view masyarakat berada dalam dualisme dan dikotomi. Disadari atau tidak, masyarakat sedang berada dalam kebingungan merumuskan jati dirinya.