La Temmassonge To Appaweling (1749–1775)
- La Baloso To Akkaottong, inilah yang menjadi Maddanreng di Bone. La Baloso kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang anak dari saudara perempuan ayahnya. Dari perkawinan La Baloso dengan We Tenriawaru Arung Lempang, lahirlah La Sibengngareng dan inilah yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
- Satu lagi anaknya bernama La Cuwa Arung Lempang,
- La Balo Ponggawa pelaiyengi Pattimpa.
- We Daraima
- We Maukati. Inilah yang kawin dengan La Sau Arung Kalibbong.
- We Tenripappa MajjumbaE, inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. La Maddinra Arung Rappeng adalah anak saudara La Baloso yang bernama La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro dari isterinya yang bernama We Tenri Ona Arung Rappeng. Dari perkawinan We Tenripappa MajjumbaE dengan La Maddinra Arung Rappeng Betti’E lahirlah We Tenri. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung Gilireng. Dari perkawinan itu lahirlah; 1) We Bangki Arung Rappeng, 2) La Gau’ Arung Pattojo Ponggawa Bone, 3) We Tenri Pasabbi Arung Rappeng, 4) La Palettei Ponggawa Bone, 5) La Wawo, 6) La Mappajanci, 7) We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, La Massalewe, 9) We Pana, dan 10) We Sompa Arung Baleng. We Tenri Pasabbi Arung Gilireng kawin dengan To Allomo CakkuridiE di Wajo. Dari perkawinan itu lahirlah La Tulu CakkuridiE di Wajo. Berikutnya We Maddilu Arung Bakung, inilah yang kawin dengan La Kuneng Addatuang ri Suppa Arung Belawa Orai. Dari perkawinan itu lahirlah ; We Time Addatuang Sawitto, We Cinde Addatuang Sawitto MatinroE ri Polejiwa, La Cibu Ponggawa Bone Addatuang Sawitto, La Tenri Lengka Datu Suppa, We Maddika atau We Tenri Lippu Daeng Matana Arung Kaju, We Pada Uleng Arung Makkunrai MatinroE ri Sao Denrana dan Muhammad Saleh Arung Sijelling dan sebagai Arung Alitta. Selanjutnya adik We Maddilu Arung Bakung adalah We Padauleng atau We Tenri Pada , kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo.
- We Pakkemme, inilah yang menjadi Arung Majang. We Pakkemme kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Muanneng Arung Pattiro, anak dari La Pareppai To Sappewali MatinroE ri Somba Opu dengan isterinya yang bernama We Gumittiri.
- We Tenri Olle, inilah yang menjadi Datu Bolli. We Tenri Olle kawin dengan La Mappajanci Daeng Massuro Datu Soppeng. Oleh karena itu La Mappajanci disebut juga sebagai PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung. La Mappajanci Datu Soppeng adalah anak dari PajungE ri Luwu yang bernama La Mappassili Arung Pattojo MatinroE ri Duninna. We Tenri Olle dengan La Mappajanci melahirkan anak yang bernama 1) La Mappapole Onro, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na, 2) We Tenri Ampareng Arung Lapajung, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Barugana.
- We Rana, inilah yang menjadi Ranreng Towa di Wajo. Kawin dengan La Toto Arung Pallekoreng, anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama I Yabang. Dari perkawinan itu lahirlah Sitti Hudaiya Ranreng Towa Wajo. Inilah yang kawin dengan La Tenri Dolo Arung Telle. Selanjutnya lahir Amirah Ranreng Towa Wajo. Amirah kawin dengan La Pabeangi Petta TurubelaE anak dari We Tungke MajjumbaE dengan suaminya yang bernama La Cella Patola Wajo. Dari perkawinan Amirah dengan La Pabeangi, lahirlah We Panangareng Arung Tempe Selatan. Selanjutnya La Pawellangi PajumperoE Ranreng Tuwa dan Arung Matowa Wajo.
- We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. We Hamidah kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapenning Daeng Makkuling Ponggawa Bone MatinroE ri Tasi’na. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu kawin dengan We Tenri Pada atau We Padauleng anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya We Tenriawaru Arung Lempang. Adik La Tenri Tappu adalah We Yallu Arung Apala. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya La Unru Datu Pattiro, La Mata Esso, We Dende dan We Tenri Kaware Arung Balusu.
- La Massarasa Arung Pallengoreng,
- La Palaguna Arung Nangka dan juga Arung Ugi serta Dulung Awang Tangka. Anak La Palaguna kemudian menjadi Arung Lamatti.
- La Patonangi atau La Tone, inilah yang menjadi Arung Amali. La Patonangi kawin dengan We Kamummu Arung Bungkasa.
- La Makkasau Arung Kera juga sebagai Dulung Pitumpanuwa. La Makkasau kawin dengan We Kambo Opu Daeng Patiware anak dari We Tenriwale Daeng Matajang MatinroE ri Limpo Paccing dengan suaminya yang bernama La Tenri Tadang Pallempa Walenrang. Ini adalah cucu dari We Patimana Ware saudara MatinroE ri Tippulunna. La Makkasau dengan We Kambo Opu Daeng Patiware melahirkan anak ; pertama bernama La Riwu To Paewangi Pallempa Walenrang, kedua bernama La Ewa Opu To Palinrungi, ketiga bernama La Waje Ambo’na Riba Arung Kera Dulung Pitumpanuwa, keempat bernama We Pada Daeng Malele, kelima bernama We Biba Daeng Talebbi.
- We Seno. We Seno Datu Citta kawin dengan La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete , anak dari We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang Tanete dengan suaminya yang bernama La Mallarangeng To Pasamangi Datu Mario Riwawo juga sebagai Datu Lompulle. We Seno dengan La Maddussila melahirkan anak ; pertama bernama La Bacuapi , inilah yang menjadi Datu di Citta juga sebagai Dulung Ajangale MatinroE ri Kananna ri Leangleang pada saat berperangnya Arumpone To Appatunru dengan Inggeris pada tahun 1814. Kedua bernama We Kajao Datu Citta, ketiga bernama We Hatija Arung Paopao. We Hatija Arung Paopao kawin dengan To Appasawe Arung Berru, anak dari To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE dengan isterinya yang bernama We Besse Karaeng Leppangeng. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Sumange’ Rukka Arung Berru masuk ke Bone kawin dengan We Baego Arung Macege anak dari Arumpone yang bernama La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata dengan isterinya yang bernama We Bau Arung Kaju. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Pada Arung Berru.
- We Soji Arung Tanete kawin dengan La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone, anak dari To Appo Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Panidong Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka Ambo Pajala. Inilah yang kawin dengan We Tenri Kaware Arung Saolebbi juga sebagai Arung Balosu anak dari La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Sumange’ Rukka Ambo Pajala dengan We Tenri Kaware melahirkan La Passamula BadungE Arung Balosu. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga anak dari La Unru Datu Soppeng dengan isterinya We Mariyama Mabbaju LotongE. Selanjutnya We Bonga Petta Indo I Lampoko dengan suaminya La Passamula Bau Baso Arung Balosu, inilah yang kemudian menjadi Sule Datu di Soppeng.
”Adapun yang diberikan Batari Toja kepada saya ketika masih hidup, seperti; Baringeng, Amali, Pattiro, PaddakkalaE di Bantaeng, saya diberikan ketika berada di Kessi. Sedangkan yang dipesankan, adalah ; Timurung, Majang, Pallengoreng, Kera, Tuwa, Ugi, Citta, Lapajung,Tellu Latte’ E dan Ta’. Selanjutnya Tuwa saya serahkan kepada We Rana, Citta saya serahkan kepada We Seno, Majang saya serahkan kepada We Pakkemme’, Pallengoreng saya serahkan kepada La Massarasa, Ugi saya serahkan kepada La Palaguna, Kera saya serahkan kepada La Makkasau, Takalar saya serahkan kepada We Yamida. Sedangkan Timurung dan NakkaE, itulah yang akan saya tempati sampai tiba ajalku. Siapa saja yang merawat saya sewaktu saya sakit, itulah yang akan memilikinya.”
La Tenri Tatta Arung Palakka (1667–1696)
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
“Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
”Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Batari Toja Daeng Talaga (1724–1749)
Batari Toja Daeng Talaga kembali menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi. Disamping kembali menjadi Mangkau’ di Bone, Batari Toja juga kembali menjadi Datu di Luwu dan Soppeng.
Batari Toja kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Oki yang tinggal di Ajattappareng. Akan tetapi La Paulangi Petta Janggo’E sepupu satu kali La Oki mengawinkan dengan anaknya yang bernama We Tungke. Oleh karena itu, Batari Toja membatalkan perkawinannya dengan La Oki. Pada tahun 1716 M. Batari Toja kawin dengan Arung Kaju yang bernama Daeng Mamutu.
Karena Batari Toja sangat dekat dengan Kompeni Belanda, membuat arung-arung tetangganya banyak yang kurang senang. Oleh karena itu Batari Toja lebih banyak tinggal di Ujungpandang dari pada di Bone. Sementara suaminya Arung Kaju yang diangkat sebagai Maddanreng (wakil) berniat merebut kekuasan isterinya.
Setelah Batari Toja mengetahui maksud jahat dari suaminya itu, iapun segera menceraikan suaminya tersebut. Bahkan mantan suaminya tersebut diusir untuk meninggalkan Bone.
Dalam tahun 1735 M. La Maddukkelleng Arung Peneki yang juga sebagai Sultan Pasir di Kalimantan berniat untuk kembali ke negerinya di Peneki. Tetapi pada saat itu, La Maddukkelleng belum bisa menginjakkan kakinya di wilayah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) karena kesalahan yang pernah diperbuatnya. Pada saat itu, Wajo masih merupakan wilayah kekuasan Bone yang ditaklukkan pada masa pemerintahan La Tenri Tatta Arung Palakka MaloampeE Gemme’na. Sedangkan La Maddukkelleng meninggalkan Wajo dan lari ke Kalimantan karena memperbuat kesalahan terhadap Bone pada masa pemerintahan La Patau Matanna Tikka.
Arung Kaju mantan suami Batari Toja yang diusir untuk meninggalkan Bone, pergi ke Tanah Mandar bersama Karaeng Bonto Langhkasa menunggu kedatangan La Maddukkelleng dari Tanah Pasir Kalimantan. Karaeng Bonto Langkasa juga tidak senang dengan KaraengE ri Gowa karena dinilai sangat dekat dengan Kompeni Belanda sebagaimana Batari Toja. Dengan demikian, Arung Kaju menjalin kerja sama dengan Karaeng Bonto Langkasa dan La Maddukkelleng. Kerja sama tersebut bermaksud untuk melepaskan Wajo dari kekuasan Bone.
Sementara Karaeng Bonto Langkasa ingin menghilangkan pengaruh Kompeni Belanda di Gowa dan Bone, sehingga menjalin kerja sama dengan Arung Kaju Daeng Mamutu yang memang berniat merebut kekuasan dari mantan isterinya Batari Toja Daeng Talaga.
Adapun Arumpone Batari Toja setelah mengetahui bahwa La Maddukkelleng telah mendarat di Wajo, berangkatlah ke Ujungpandang untuk berlindung pada Kompeni Belanda. Diserbulah Bone oleh pasukan La Maddukkelleng, ada juga rombongan Karaeng Bonto Langkasa dan Arung Kaju yang menghasut orang Bone untuk melawan Arumpone.
Setelah membumi hanguskan Bone, La Maddukkelleng meminta kembali – sebbukatina (persembahan) Wajo yang pernah diberikan kepada Bone pada masa pemerintahan Petta To RisompaE. Maka kembalilah Wajo menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Bone. Diangkatlah La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo menggantikan pamannya.
Pergilah La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo ke Gowa untuk memanggil Sitti Napisa Karaeng Langelo We Denradatu saudara KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallawangeng Gau Sultan Abdul Khair untuk diangkat menjadi Arumpone. Akan tetapi ditolak oleh orang Bone, maka pergilah Karaeng Langelo ke Wajo dan tinggal di rumah La Maddukkelleng.
Selain itu datang pula La Oddang Riwu Karaeng Tanete bersama pasukannya bermaksud pula menjadi Arung di Bone. Akan tetapi tidak disetujui oleh Kompeni Belanda dan KaraengE ri Gowa. Juga tidak diterima oleh Adat Bone.
Oleh karena itu dikembalikanlah Batari Toja ke Bone untuk menjadi Arumpone berdasarkan keinginan Arung PituE (Adat) di Bone. Setelah kembali ke Bone, Batari Toja menyuruh Kadhi Bone yang bernama Abdul Rasyid ke Tanah Mandar memanggil La Pamessangi untuk menjadi Arung di Belawa Orai, Alitta dan Suppa yang pernah diusir oleh KaraengE ri Gowa.
Ketika sampai di Mandar, Kadhi Bone Abdul Rasyid menyampaikan kepada La Pamessangi bahwa dia disuruh oleh Arumpone Batari Toja memanggil kembali ke Bone untuk kembali menjadi Arung di Belawa Orai, Suppa dan Alitta. Penyampaian itu dibenarkan oleh Matowa Belawa yang menyertai Kadhi Bone ke Balannipa menemui La Pamessangi.
La Pamessangi kembali ke Bone bersama Kadhi Bone. Ia mendarat di JampuE dan disambut oleh Pabbicara Suppa. Pada sat itu La Pamessangi menyuruh anaknya yang bernama La Sangka untuk tinggal menjadi Datu di Suppa. Setelah bermalam tiga malam di Suppa, datanglah orang Alitta bersama Pabbicara Suppa di Alitta untuk menemuinya. Lalu La Pamessangi menyuruh lagi anaknya yang bernama La Posi untuk menjadi Arung di Alitta. Tiga malam di Alitta baru pergi di Belawa. Setelah bermalam satu malam di Belawa datanglah semua orang Belawa, orang Wattang, orang Timoreng memberi ucapan selamat ditandai dengan pemberian 10 gantang beras untuk satu kampung.
Setelah empat malam di Belawa dikumpulkanlah orang Belawa dan menyampaikan bahwa La Raga yang akan diangkat menjadi Arung di WattangE. Hal ini disetujui oleh orang Belawa, berdirilah MatowaE sambil berkata ;
”Dengarkanlah wahai orang Belawa bahwa La Raga kita angkat sebagai Arung ri Belawa”.Sesudah diserahkan AkkarungengE ri Belawa kepada La Raga, Petta MatowaE bersama Kadhi Bone melanjutkan perjalanannya ke Bone.
Ketika Batari Toja berusia tua dan kelihatan semakin lemah, Adat bertanya kepadanya tentang siapa nantinya yang bakal menggantikannya untuk melanjutkan pemerintahannya di Bone. Lalu Batari Toja menunjuk saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng Ponggawa Bone. Mendengar itu, Arung Kaju berkata ;Tennakkarungi cera’ TanaE ri Bone, tennatola rajeng akkarungengE ri Bone” (Yang bukan putra mahkota tidak bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, sedangkan Mangkau’E ri Bone tidak bisa digantikan oleh orang yang kebangsawanannya hanya dari ayah).
Karena merasa tersinggung dengan kata-kata Arung Kaju, La Temmassonge’ menunggu Arung Kaju didekat tangga dan menikamnya sehingga meninggal dunia. Kematian Arung Kaju dikomentari oleh Arumpone Batari Toja bahwa lantaran mulutnya Arung Kaju yang mengatakan La Temmassonge’ hanyalah cera’ sehingga dia meninggal dunia.
Dalam tahun 1749 M. Batari Toja Daeng Talaga meninggal dunia di TippuluE sehingga dinamakan MatinroE ri Tippulunna. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng.
La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895–1905)
La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi Karaeng Sigeri sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk menjadi Mangkau’ di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale. Karena itulah yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya ketika membantu memerangi Turate. Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone.
Setelah selesai memerangi Turate, karena La Pawawoi dianggap berjasa dalam membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah untuk menjadi Karaeng di Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti pada tahun 1877 M. baru dapat dipadamkan.
Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De Grote Gouden ster voor traun en verdienste.
Kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M.
Pada tanggal 16 Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Kompeni Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan Bone sudah sangat kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak persahabatan itu, Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian yang pernah disepakati bakal diingkari oleh Arumpone.
Pada tanggal 16 Februari 1896 M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak. Tindakan itu, seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong, dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang.
Untuk itu Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Krussen memperingatkan, tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904 M. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan Ujungpandang dan dihalangi oleh Arumpone. Disamping itu Kompeni Belanda juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri. Bahkan Arumpone memungut sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone.
Karena permintaan Kompeni Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 M. Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan persenjataan yang lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Baso Pagilingi mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke Pasempe. Sementara tentara Belanda memburu terus, hingga akhirnya Arumpone dengan laskar serta sejumlah keluarganya mengungsi ke Lamuru, Citta dan terus ke Pitumpanuwa Wajo.
Adapun Panglima Perang Arumpone , ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung Labuaja. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi yang lebih dikenal dengan sebutan Petta PonggawaE serta sejumlah laskar pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Bone diserang oleh tentara Belanda mulai tanggal 30 Juli 1905 M. dan Arumpone mengungsi ke Pasempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta.
Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 M. barulah bertemu laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen. Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda, maka Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih untuk menyerah. Pertimbangannya adalah kondisi laskar yang semakin menurun dan gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa.
Arumpone ditangkap dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang. Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone.
Pada tanggal 2 Desember 1905 M. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanuwa inilah berkedudukan Pembesar Afdeling yang disebut Asistent Resident.
Afdeling Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro. Petoro itu dibagi lagi menjadi ; Petoro Besar ialah Asistent Resident, Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda, sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau memiliki pendidikan yang memadai.
Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A.
Adapun bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ;
- Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa.
- Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur.
- Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur.
- Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda di Tosora) diperintah oleh Controleur.
- Onder Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur.
Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda.
Di Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh TomarilalengE.
Yang pertama – tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan Arumpone.
Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, mulai Belanda membuat jalan raya. Seluruh laki-laki yang mulai dewasa sampai kepada laki-laki yang berumur 60 tahun diwajibkan bekerja untuk membuat jalan raya tersebut. Bagi yang tidak mampu untuk bekerja dapat membayar sebesar tiga ringgit.
Ketika Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi, maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone. Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone.
Adapun La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Setelah La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang bakal menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, ternyata gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah.
Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol.
Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa di Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang).
Baso Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege.
Selanjutnya La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin lagi dengan Daeng Tamene, yang juga cucu dari Arung Mangempa di Berru. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya sewaktu diasingkan ke Bandung. Kemudian We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya yang bernama We Saripa.
Ketika La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang bernama Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan isterinya Karaeng Tanatana.
Adapun anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama We Patimah dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau. Inilah yang melahirkan La Makkulawu Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya bernama Arung Jaling, inilah yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama bernama We Manuare , kedua bernama Arase, ketiga bernama La Sitambolo.
Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang, baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Mangkau di Bone.
La Pabbenteng Petta Lawa (1946–1951)
Silsilah
La Pabbenteng adalah anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid, Petta Ponggawa Bone yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong. Sedangkan Baso Pagilingi Ponggawa Bone adalah anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta, Arumpone ke 31.
Masa Pemerintahan
La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege menjadi Mangkau’ di Bone yang diangkat oleh NICA (Nederland Indiche Civil Administration), suatu organisasi baru yang dibentuk oleh Belanda dan sekutunya yang bertujuan untuk berkuasa kembali di Indonesia. Padahal Bangsa Indonesia telah memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta.
Setelah La Mappanyukki berhenti menjadi mangkau’ di Bone, maka tidak ada lagi putra mahkota yang dapat menggantikannya kecuali La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege. Oleh karena itu, NICA mengangkatnya menjadi Arumpone atas persetujuan anggota Ade’ Pitu-E Bone menggantikan La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa.
Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone, La Pabbenteng memang selalu dekat dengan NICA dan selalu bersama-sama apabila NICA bepergian. Oleh karena itu dia diberi pangkat kemiliteran yaitu Kapten Tituler. Setelah diangkat menjadi Mangkau’ Bone, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel Tituler.
Pada waktu La Mappanyukki akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone yang menolaknya adalah La Pabbenteng Arung Macege. Karena menurutnya dia lebih berhak untuk menduduki akkarungengE ri Bone sebab dialah yang paling dekat dengan La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta. Akan tetapi sebelum Perang Dunia II La Pabbenteng memperbuat kesalahan di Bone yaitu membunuh sepupunya yang bernama Daeng Patobo. Oleh karena itu, Gubernur Belanda bersama Hadat Tujuh Bone memutuskan untuk mengasingkan La Pabbenteng. Setelah datang Jepang, barulah La Pabbenteng kembali dari pengasingannya.
Ketika ia diasingkan, kedudukannya sebagai Arung Macege digantikan oleh La Pangerang Daeng Rani anak La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa Arumpone ke 32. Kedudukan itu berakhir setelah diasingkan oleh NICA ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki karena pernyataannya yang tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat La Pabbenteng menjadi Arumpone ia melengkapi perangkat pemerintahannya dengan mengangkat To Marilaleng La Maddussila Daeng Paraga menjadi MakkedangE Tanah. Selanjutnya La Sulo Lipu Sulewatang Lamuru diangkat menjadi To Marilaleng menggantikan La Maddussila Daeng Paraga.
La Pabbenteng kawin di Sidenreng dengan We Dala Uleng Petta Baranti, anak dari We Bunga dengan suaminya yang bernama La Pajung Tellu Latte Sidenreng. Cucu langsung Addatuang Sidenreng dari ibunya dan cucu langsung Arung Rappeng Addatuang Sawitto dari ayahnya.
Arumpone La Pabbenteng kemudian diperintahkan oleh NICA untuk mempersatukan arung-arung (raja-raja) di Celebes Selatan untuk membentuk organisasi yang bernama Hadat Tinggi. Organisasi ini diketuai sendiri oleh Arumpone La Pabbenteng dan wakilnya adalah La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Hadat Tinggi itulah yang ditempati oleh Gubernur NICA untuk melaksanakan pemerintahannya di Celebes Selatan.
Pada masa pemerintahan La Pabbenteng di Bone, NICA mengadakan Komperensi Malino yang diprakarsai oleh Lt.G.Dj.Dr.H.J.van Mook, sekaligus sebagai pimpinan. Komperensi itu dihadiri oleh wakil-wakil dari Celebes, Sunda Kecil dan Maluku yang bertujuan membentuk suatu negara dalam negara Republik Indonesia yaitu Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada tanggal 12 November 1948, Gubernur NICA di Ujungpandang menyerahkan kepada Arumpone La Pabbenteng untuk menjadi Ketua Hadat Tinggi dan memasukkan sebagai satu bahagian dari Negara Indonesia Timur. Namun bentukan NICA itu tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Bangsa Indonesia. Selanjutnya terbentuklah Republik Indonesia Serikat dan bubar pulalah Hadat Tinggi bentukan NICA.
Dalam tahun 1950 La Pabbenteng mengundurkan diri sebagai Arumpone, dia berangkat ke Jawa bersama isterinya. Begitu pula anggota Hadat Bone, semua meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Hadat Bone.
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa (1931–1946)
La Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La Tenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’ di Bone.
Ibu dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata.
Pada hari Kemis tanggal 12 April 1931 M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki dilantik menjadi Mangkau’ di Bone dan dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Ibrahim. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff.
Setelah dilantik menjadi Mangkau’ di Bone La Mappanyukki meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh Bone sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan La Pabbenteng sebagai Arung Macege.
Anaknya yang bernama La Pangerang itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat ayahnya tidak berkesempatan.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta perlindungan.
La Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Mesjid Raya Watampone. La Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid tersebut.
Pada tanggal 8 Desember 1941 M. dampak Perang Dunia II juga terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Pada tahun 1942 M. Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menyerah.
Pada masa pemerintahan Jepang, nama Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedangkan kedudukan Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.
Jepang memerintah selama tiga setengah tahun yang membuat penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan dimana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi.
Karena Jepang merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat perlengkapan perangnya, Jepang membujuk penduduk pribumi untuk ikut memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa sebagai Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam tahun 1944 M. Jepang menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken Kanrikan.
Pada awal Kemerdekan Indonesia banyak orang yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan sangat berbahaya dari tekanan Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand Indiche Cipil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang di peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 M.
Adapun anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege, pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan sama dengan Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR Ratulangi pergi ke Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki.
Setelah proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta,La Pangerang dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi TellumpoccoE, kemudian diangkat menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajenne yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi.
La Pangerang Daeng Rani kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama Abdullah Petta Nyonri, kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga bernama We Ralle, keempat bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang. Kemudian La Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak Karaeng Parigi
Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi dimasa perang kemerdekan, dia dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Abdullah Bau Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne.
Anak La Mappanyukki dengan isterinya yang bernama Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We Mappasessu Datu WaliE, dengan suaminya yang bernama La Mappabeta. Selanjutnya anak La Mappanyukki dari isterinya yang bernama We Mannenne Karaeng Balangsari, adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La Patiware Pajung ri Luwu.
Ketika La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat membagi Sulawesi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian kewedanan juga dirubah menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu ;
1. Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone.
2. Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang.
3. Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya Watassoppeng.
Hal yang demikian, merupakan realisasi dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone lama meliputi Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten Bone baru dengan ibu kotanya Watampone.
Pada waktu itu, La Mappanyukki dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967 M. ia meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang.